Krisis Gaza & Tepi Barat 2025: Antara Rasa Lapar dan Harapan Diplomatik
Krisis Gaza & Tepi Barat 2025: Antara Rasa Lapar dan Harapan Diplomatik
Beritaburung.news /JAKARTA 25 Juli 2025 — Krisis Gaza & Tepi Barat 2025 Tahun ini menandai puncak dari krisis kemanusiaan yang paling mengerikan di kawasan Timur Tengah. Konflik yang melanda Gaza dan daerah sekitarnya telah memperparah penderitaan warga sipil. Rumah-rumah hancur, akses bantuan diblokade, dan jutaan orang menghadapi kelaparan akut.
1. Statistik Korban dan Kondisi Kemanusiaan
Data terbaru dari badan PBB untuk pengungsi memperlihatkan bahwa hingga pertengahan Juli 2025:
-
Lebih dari 57.000 warga tewas akibat serangan dan penembakan.
-
Sekitar 975 orang lain—termasuk ratusan anak-anak—tewas di wilayah Tepi Barat karena berbagai insiden keamanan dan bentrokan bersenjata.
-
Di Gaza, korban kelaparan telah meningkat tajam dengan lebih dari 120 kematian baru dilaporkan dalam 24 jam terakhir, sebagian besar adalah anak-anak malnutrisi akut.
Rumah sakit kolaps. Fasilitas kesehatan hancur, tenaga medis kekurangan pasokan, dan suplai obat hampir habis total. Setiap hari, korban terus berdatangan ke pusat-pusat perawatan penuh sesak.
2. Ancaman Kelaparan Massal
Sejak awal Maret 2025, wilayah ini diberlakukan blokade yang membatasi masuknya makanan dan bahan pokok. Harga bahan pangan melejit hingga 1.400%, dan dapur umum terakhir yang dikelola badan bantuan PBB kehabisan bahan makanan pada akhir April.
Cacatan PBB menunjukkan setidaknya 66.000 anak menderita kekurangan gizi parah pada Mei – lonjakan drastis dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Lebih dari 1.000 orang telah tewas saat mencoba mencari makanan, menurut laporan lembaga kemanusiaan. Kejadian tersebut dikaitkan dengan tembakan yang menarget warga sipil yang berusaha mengikuti airdrop atau bantuan.
3. Aksi Diplomatik dan Tekanan Internasional
Konferensi darurat digelar di Bogota, Kolombia (15–16 Juli), yang dihadiri 32 negara anggota yang tergabung dalam The Hague Group. Dari pertemuan tersebut, 12 negara sepakat mengambil enam tindakan tegas, mulai dari pelarangan ekspor senjata, embargo sampai investigasi pelanggaran hukum internasional.
Dalam waktu yang sama, rencana konferensi di New York (28–29 Juli) juga tengah dipersiapkan untuk membahas roadmap resolusi konflik, disarmament kelompok bersenjata, dan reformasi kepemimpinan. Konferensi ini menjadi titik penting menuju solusi dua-negara.
Presiden Perancis telah mengumumkan bahwa negaranya akan secara resmi mengakui negara merdeka tersebut pada Sidang Umum PBB bulan September—membuat Paris menjadi negara G7 pertama yang mengambil langkah ini.
4. Hambatan Negosiasi dan Sikap AS
Pembicaraan gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar dan AS mengalami kemunduran. Utusan khusus AS Steve Witkoff menyatakan bahwa Hamas tidak bertindak dengan itikad baik, sehingga tim negosiasi AS ditarik dari Doha. Israel pun menghentikan negosiasi sebagai bentuk tekanan.
Saat ini, opsi alternatif seperti penggunaan model bantuan manusia balanced melalui situs yang dijaga tentara telah diupayakan. Namun sistem baru ini dikritik karena menyebabkan kekacauan dan gagal memenuhi prinsip-prinsip kemanusiaan.
5. Rasa Solidaritas Global dan Rakyat Bangkit
Aksi solidaritas rakyat meningkat drastis. Pada 12 April, ratusan ribu orang berkumpul di Dhaka, Bangladesh untuk aksi “March for Gaza”. Tuntutannya antara lain penghentian serangan, pemutusan hubungan dengan Israel, dan desakan agar dunia bersatu mendukung rakyat yang menderita.
Sementara itu, konvoi kemanusiaan maritim “Flotilla” dengan kapal Handala bergerak dari Italia menuju Gaza pada pertengahan Juli, membawa bantuan yang tertahan oleh blokade laut.
6. Dampak Sosial: Pengungsian, Demolisi, Trauma
Di Tepi Barat, perampokan struktur dan pendudukan menyebabkan ratusan bangunan dihancurkan sejak awal tahun. Lebih dari 1.300 warga kehilangan rumah dan mengungsi dalam kondisi kritis.
Lembaga HAM menyoroti bahwa kebanyakan korban adalah warga sipil yang tidak terlibat aksi militer. Penahanan administratif tanpa proses hukum terjadi secara masif, termasuk terhadap anak-anak dan anggota keluarga yang tidak bersalah.
7. Inovasi Perdamaian: Dialog Lintas Konflik
Dalam upaya membangun rekonsiliasi internal, studi mencoba mengadopsi metode dialog kolektif berbasis AI untuk menjembatani perbedaan antara kelompok masyarakat di kedua belah pihak konflik. Lebih dari 100 pegiat perdamaian ikut serta dalam proses ini, dan 84% setuju pada pernyataan bersama sebagai awalan rekonsiliasi.
FAQ – Situasi Saat Ini
Q: Berapa korban tewas terbaru?
A: Lebih dari 57.000 jiwa di Gaza dan hampir 975 jiwa di wilayah Tepi Barat—termasuk ratusan anak-anak.
Q: Apa yang menyebabkan malnutrisi?
A: Blokade yang mencegah masuknya makanan dan obat, serta meningkatnya kematian anak akibat kelaparan akut.
Q: Apakah ada roadmap diplomatik?
A: Sejumlah konferensi internasional tengah berlangsung, termasuk Bogota dan New York, guna menetapkan kerangka perdamaian dua-negara.
Q: Bagaimana sikap negara-negara dunia?
A: Perancis mengumumkan pengakuan, Inggris & Jerman mendesak gencatan senjata, sementara AS menekan Hamas dan mendukung Israel.
Antara Kekerasan dan Harapan
Krisis Gaza & Tepi Barat 2025 menandai salah satu fase paling memilukan dalam sejarah konflik ini. Meski begitu, inisiatif diplomatik dan solidaritas global menunjukkan bahwa niat damai masih hidup. Namun, waktu terus berjalan sementara nyawa dan harapan manusia terus terkikis oleh kekerasan dan kelaparan.
Krisis ini menjadi ujian besar bagi umat manusia: apakah kita mampu menjunjung nilai keadilan, kemanusiaan, dan dialog daripada kekerasan dan kebencian?
Sekarang, bukan soal siapa menang dalam konflik, melainkan soal sejauh mana dunia masih peduli pada trauma manusiawi yang terjadi di bawah blokade dan bom.