Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara: Korupsi Impor Gula yang Menghebohkan Negeri
Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara: Korupsi Impor Gula yang Menghebohkan Negeri
Beritaburung.news /Jakarta, 19 Juli 2025 — Tom Lembong, Dunia politik dan ekonomi Indonesia kembali diguncang oleh putusan pengadilan yang menjerat seorang mantan pejabat tinggi negara. Thomas Trikasih Lembong, lebih dikenal sebagai Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, akhirnya divonis bersalah dalam kasus korupsi impor gula dan dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka pada Jumat siang, dan menjadi sorotan luas di media nasional maupun internasional. Pasalnya, Tom dikenal sebagai tokoh ekonomi yang sebelumnya banyak dipuji atas ide-ide reformis dan sikapnya yang vokal terhadap kebijakan tidak populis.
Vonis Tegas atas Kebijakan Bermasalah
Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, disebutkan bahwa Tom terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam kebijakan impor Gula Kristal Mentah (GKM) selama periode jabatannya di tahun 2015–2016.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” ujar Hakim Dennie dalam ruang sidang yang dipadati wartawan dan pengunjung.
Selain pidana badan, ia juga dikenai denda sebesar Rp 750 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Rangkaian Kasus yang Panjang
Kasus ini bermula pada Oktober 2024, ketika Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka. Penyelidikan menemukan bahwa kebijakan impor gula yang dikeluarkannya tidak melalui proses kajian yang akuntabel, sehingga membuka celah penyalahgunaan wewenang. Dalam dakwaan, negara disebut mengalami kerugian yang cukup fantastis, yaitu antara Rp 194,72 miliar hingga Rp 578 miliar, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Vonis ini mencakup pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tak Terbukti Menerima Uang, Tapi Tetap Bersalah
Salah satu fakta yang mencuat dalam sidang adalah bahwa meskipun Tom Lembong tidak terbukti menerima aliran dana secara pribadi, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan negara dan mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas publik. Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa gaya kepemimpinan Tom terlalu condong pada pendekatan ekonomi kapitalistik yang ekstrem.
“Terdakwa mengedepankan prinsip liberalisasi ekonomi secara berlebihan, hingga mengorbankan kepentingan masyarakat banyak, terutama dalam ketersediaan dan harga gula,” ungkap Hakim Dennie.
Atas dasar itu, majelis hakim tetap memvonisnya bersalah karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kepentingan publik dan merugikan keuangan negara secara masif.
Barang Bukti Dikembalikan
Meski dijatuhi hukuman pidana, hakim juga memberikan keputusan untuk mengembalikan sejumlah barang bukti yang sebelumnya disita dari Tom Lembong, seperti satu unit iPad dan MacBook. Hakim beralasan bahwa barang-barang tersebut tidak terkait langsung dengan tindak pidana.
Tanggapan Publik dan Dunia Politik
Putusan ini langsung memancing reaksi dari berbagai kalangan. Banyak pihak menyatakan kekecewaan karena kasus ini menjadi contoh nyata lemahnya pengawasan terhadap kebijakan ekonomi yang berdampak luas. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi menyebut bahwa vonis ini harus menjadi momentum untuk memperketat pengawasan pada proses perumusan kebijakan di level kementerian.
“Ini bukan sekadar kasus korupsi biasa. Ini soal bagaimana kebijakan yang tampak sah bisa merugikan negara karena mengabaikan proses yang transparan dan akuntabel,” kata Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara.
Waktu Pikir-Pikir
Setelah vonis dibacakan, baik pihak Tom Lembong maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan akan menggunakan waktu tujuh hari yang diberikan pengadilan untuk mempertimbangkan langkah berikutnya, apakah mengajukan banding atau menerima putusan tersebut.
Pengacara Tom menyebut bahwa kliennya masih dalam tahap “menganalisis putusan” dan belum akan membuat pernyataan resmi. Sementara itu, Kejaksaan juga belum memastikan apakah akan menuntut hukuman yang lebih berat.
Perjalanan Karier yang Berliku
Sebelum menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Tom Lembong dikenal sebagai bankir dan ekonom berpengaruh. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan sempat aktif sebagai penasihat kebijakan dalam sektor swasta dan pemerintahan. Popularitasnya menanjak saat dipercaya menjadi bagian dari Kabinet Kerja Joko Widodo.
Namun kini, karier politik dan ekonominya tercoreng oleh vonis hukum yang menghukumnya atas perbuatan yang dianggap melampaui batas profesionalisme seorang pejabat publik.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa yang menyebabkan Tom Lembong divonis penjara?
Ia dijatuhi hukuman karena dianggap melakukan korupsi dalam kebijakan impor Gula Kristal Mentah saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
2. Apakah Tom Lembong menerima uang dari hasil korupsi?
Tidak. Ia tidak terbukti menerima uang pribadi, namun kebijakannya dianggap merugikan negara secara sistemik.
3. Berapa kerugian negara akibat kasus ini?
BPK mencatat kerugian negara berkisar antara Rp 194,72 miliar hingga Rp 578 miliar.
4. Apakah Tom akan banding?
Hingga artikel ini ditulis, baik Tom maupun jaksa masih menggunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir atas putusan.
5. Apa barang bukti yang sempat disita dari Tom?
Beberapa barang pribadi seperti iPad dan MacBook sempat disita namun dikembalikan karena tak terkait langsung dengan tindak pidana.
Intinsari
Kasus yang menjerat Tom Lembong adalah potret nyata bahwa pejabat publik harus menjalankan tugas dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Meski niat awal dari kebijakan impor gula yang diambil bisa saja bermaksud untuk efisiensi pasar, namun proses yang tidak akuntabel dan tidak melibatkan kajian menyeluruh telah menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Putusan ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik bukanlah ruang eksperimen kebijakan bebas, melainkan tanggung jawab berat yang berdampak luas. Kasus ini juga menjadi tonggak penting dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan di Indonesia agar lebih berorientasi pada kepentingan rakyat.